BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
♥♥ WELCOME IN SIANTAR COMUNITY ♥♥

Kamis, 18 Februari 2010

Menyoroti Siantar, Simalungun


SEMULA Kota Pematang Siantar dan
Kabupaten Simalungun memiliki keterikatan emosional yang sangat erat. Baik konsep pembangunan ekonomi maupun sisi kesejarahan, karena di masa pemerintahan Belanda wilayah ini menjurus terpusat ke Pematang Siantar yang terakhir dipimpin oleh Sang Na Waluh, mengadopsi konsep pembangunan wilayah ala “Ring Von Tunen”, pakar Jerman.

Kota Siantar sejatinya menjadi titik diametris kegiatan ekonomi dan pembangunan daerah sekitarnya. Pembangunan ekonomi di kedua daerah (Kodya Pematang Sianar dan Kabupaten Simalungun) ibarat biji kacang dengan kulit, ditopang oleh industri olahan dan logam, produk pertanian dan perkebunan.

Anehnya, belakangan dua daerah ini berjalan sendiri-sendiri sehingga keduanya tidak mengalami kemajuan yang berarti selama 50 tahun terakhir. Grand design atau tata laksana utama ekonomi yang sebelumnya terbentuk secara alami makin kabur sehingga konsep pembangunan kewilayahannya akhirnya nihil.

Kota Siantar berkembang dengan percepatan negatif diliputi kemegahan semu di mana penduduknya sibuk dengan pikiran masing-masing. Kabupaten Simalungun yang sumber daya ekonomi terbesarnya adalah komoditas pertanian menjadi makin egois dengan membelanjakan devisa ke kota-kota lain.

Masalah penting di Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun dapat dijabarkan, antara lain pendidikan dan kesehatan, upah buruh atau karyawan, sertifikasi tanah serta kondisi konprehensif sosial ekonomi dan kultur ekonomi.

Konsep semula seharusnya berjalan dan dikembangkan kota sebagai pusat pendidikan, kesehatan dan industri jasa sedangkan Kabupaten sebagai lumbung ekonomi sumber daya.

Sayangnya, Pemerintah dan DPRD setempat mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan sangat minim, yaitu hanya sekitar 5 persen tiap tahun. Ini merupakan bukti bahwa pembenahan peran dan fungsi Pematang Siantar sebagai kota pendidikan dan kesehatan serta jasa dan bisnis, tidak pernah serius.

Pelayanan bagi Investor
Pematang Siantar dengan luas 7.991 ha dan jumlah penduduk mencapai 246.277 jiwa, sejatinya menjadi kawasan ekonomi modern. Sebab terbukti PDRB sebesar Rp7.153 miliar (tahun 2005), 72 % lebih didominasi sektor perdagangan-hotel-restoran, jasa-jasa, pengangkutan-komunitas serta industri.

Kontribusi sektor ekonomi modern ini tidak boleh dipandang sebelah mata jika hendak memompa akreditasi kota. Namun ironisnya industri yang didominasi makanan-minuman-tembakau dan harga logam dari tahun ke tahun terus merosot meski nilai investasi tercatat naik. Padahal kemurnian proses ekonomi industri sangat dibutuhkan guna mempertahankan proses akumulasi modal fisik (formatted accumulation capital).

Jika tidak, Pematang Siantar akan sangat tergantung investasi dari luar yang mustahil pada masa krisis ini. Kalau memang harus begitu maka pembuat kebijakan yakni Wali Kota dan DPRD harus merancang Peraturan Daerah yang kondusif terhadap investasi.

Selain itu, Pemkot sepatutnya segera men-training para pegawainya agar memberi pelayanan paripurna kepada investor yang pendatang. Untuk kedua hal itu, penulis belum melihat kemauan politik dan itikad khusus dari DPRD dan Pemkot Siantar selama ini.

Penduduk yang menggantungkan hidup pada perdagangan dan jasa seharusnya mendapat rangsangan, berupa pelatihan dan modal. Pelatihan dibutuhkan guna meningkatkan potensi sumber dana manusia (SDM), sedangkan Pemkot dan bank atau lembaga keuangan lainnya harus mengatur strategi agar sistem permodalan usaha dapat dikembangkan terutama kepada para pedagang kecil-menengah dan koperasi.

Hidup tanpa Harapan
Kabupaten Simalungun dengan luas 438.660 ha dan jumlah penduduk 850.312 jiwa, 62 % bekerja di sektor pertanian, tapi ibarat hidup tanpa harapan. Petani hanya menjalankan konsep hidup “yang penting jalani saja” tanpa target karena memang dibiarkan jalan sendiri.

Banyak lahan sawah beralih fungsi menjadi kebun tanaman keras, padahal daerah ini terkenal sebagai lumbung padi Sumut. Produksi gabah jalan di tempat, terbukti tahun 1996 mencapai 394.515 ton, 10 tahun kemudian atau tahun 2006 menjadi 394.439 ton. Petani makin putus asa sebab harga saprodi semacam pupuk, obat-obatan dan pemberantas hama makin meroket sementara harga gabah terus merunduk.

Distribusi pupuk ke petani sering macet, pupuk langka sehingga petani kewalahan di setiap musim tanam. Pupuk bersubsidi jadi incaran mafia pupuk untuk dijual ke pasar karena disparitas atau selisih harga cukup tinggi. Persoalan ini makin rumit karena kelalaian para pejabat. Mereka menyalahgunakan wewenang atau tidak menggunakan wewenang sebagaimana mestinya program RDKK, sehingga terjadi distorsi suplai atau pengadaan.

Dalam satu wawancara dengan Prof Dr Bungaran Saragih waktu itu Menteri Pertanian, penulis pernah menggagasi agar bukan pupuk yang disubsidi melainkan gabah petani saja. Pemerintah membeli dengan harga Rp 2.000/kg GKP bukan Rp1.200 seperti sekarang, tetapi beras tetap dijual dengan harga ekonomis.

Petani akan bergairah karena penghasilan keluarga meningkat sedangkan pupuk tetap tersedia pada harga pasar dan tidak ada lagi penyelewengan alokasi pupuk. Bungaran kelihatan mengangguk setuju namun tidak ada tindak lanjutnya.

Nilai tukar petani kian merosot, tapi pemerintah maupun DPRD belum melakukan tindakan atau bahkan sepertinya tidak mau ambil pusing. Jika dulu tiga kali panen seorang petani dengan 2 Ha sawah bisa beli sepeda motor, sekarang puluhan kali panen masih tak mampu beli sepeda sekalipun, malah utang makin menumpuk. Maka sebagian petani atau buruh tani bekerja serabutan di kota atau perkebunan sekitar, kalau tidak, ya nyolong TBS sawit alias “ninja” atau jadi TKI ke negeri jiran.

Upah Buruh dan Sertifikasi Tanah
Kondisi buruh perkebunan tak pernah berubah, kakek buruh cucu pun jadi buruh dan keadaan hidupnya tidak lebih baik. Upah buruh belum memadai dan tidak signifikan dengan tuntutan zaman, hanya cukup untuk belanja kebutuhan dasar saja. Kerja yang serupa di Malaysia, seorang pemanen sawit memperoleh gaji rata-rata Rp4 juta per bulan, sementara di sini tidak sampai separuhnya. Menopang pendidikan anak, hingga SLTA saja pun sudah payah.

Masalah yang sangat penting di Simalungun adalah sertifikasi tanah dan sengketa lahan. Tercatat sejak tahun 1993 hanya 26.237 jumlah sertifikat hak milik yang diterbitkan oleh instansi terkait. Artinya, segala upaya pemerintah untuk mendorong petani memperkuat permodalan usaha, hanya omongan belaka. Kejelasan sertifikat sangat memengaruhi gairah kerja dan produktivitas peani.

Sejak reformasi bergulir, paling sengit terjadi sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan. Masyarakat dengan bukti-bukti yang mereka miliki mengklaim tanah mereka diserobot oleh perkebunan di masa Orde Baru. Sampai saat ini DPRD, Pemerintah Daerah maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum melakukan langkah penyelesaian yang meyakinkan.

Masyarakat dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja. Padahal negara tidak akan bangkrut jika tanah rakyat yang dikuasainya melalui PTPN dikembalikan, malah rakyat makin makmur. Rakyat makmur ya negara pun makmur. Siapa pun yang jadi DPRD perlu menyimak dan memperjuangkan kepentingan rakyat ini.

Heterogenitas penduduk menyebabkan perkembangan sosial politik di Siantar Simalungun unik. Masyarakat berpandangan kritis sekaligus mudah menyerap perkembangan perpolitikan nasional. Di era reformasi, legislator atau anggota dewan perwakilan rakyat umumnya dikuasai oleh jiwa feodalistik, mungkin meniru pejabat publik pendahulunya atau profil feodal yang ditampilkan raja-raja setempat maupun penjajah di masa lalu. Sikap feodal itu sepatutnya dihilangkan, dan rakyat harus memilih dengan hati nurani dan akal sehat jangan asal memilih.

Sebagai alumnus magister ekonomi pembangunan, penulis menilai menjadi anggota DPR tidak mudah apalagi jika pendidikannya pas-pasan karena memikul beban yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan dunia akhirat. Legislator hadir untuk memajukan kondisi masyarakat melalui fungsi legislasi, yakni pembuat undang-undang termasuk Perda, pembelanjaan APBD serta pengawasan. Tapi ternyata selama ini Undang-Undang kita terpaksa direvisi terus-menerus, apalagi Perda.

Penyelenggaraan fungsi-fungsi itu harus dipahami betul oleh para calon legislator (caleg). Tetapi terbukti dari 3.000an Perda di Indonesia yang dibatalkan oleh pemerintah pusat, 82 di antaranya ada di Sumut. Semua Perda ini merugikan masyarakat dan menghambat investasi.

DRPD dipilih rakyat, tapi malah merugikan rakyat. Belajar dari pengalaman itu, maka tidak mudah melaksanakan fungsi itu, perlu energi SDM berpotensi tinggi dengan kemampuan intelektual dan pengabdian prima.***

Penulis adalah pengamat sosial dan pembangunan alumni Fak. Pertanian USU

0 komentar: